Rabu, 12 Februari 2014

Aku seorang bosan yang terlena bosan

Untuk pertama kalinya ini terasa, tak memiliki niat untuk menulis apa yang harusnya tertulis. Kosong tapi terasa sempit. Tak ada isi yang harus dibaca, tak ada hal yang menarik. Biasa.

Detak kini mendetik dengan pelannya, membuat waktu terasa lama sekali. Ada yang tersinggung dengan keadaan ini, ini sangat terasa menghampa-hampakan. Situasi ini meluapkan bosan yang semakin menodong. Membuat yang tertodong semakin menyudut mundur menghindari. Helaan nafas terkuak sesuai tahap, menghadirkan kenyataan benar-benar terjadi penodongan. Iyaaa, tertodong kebosanan.

Tak ada yang menyelamatkan, kupikir karena ada beberapa hal yang menjadi pengecut. Tak ada alasan untuk pengecut bersikap. Kecuali berpura-pura. Sok berani misalnya. Berulang kali menghakimi juga percuma. Situasi ini sama-sama saling tidak peduli. Aku bosan dan terlalu bosan untuk membuang bosan. Jangan menanyakannya, aku tak tahu apa jawaban yang tepat. Yang ku tahu sangat sederhana.

"Aku bosan dan aku menulis ini. Kata-perkata yang bosan untuk ditulis. Keadaan yang membosankan. Tak ada isi untuk diketahui bermakna. Ini hanya kata Pembosanan."

Dari Aku seorang bosan yang terlena bosan

Sabtu, 08 Februari 2014

Sungguh

Sulit kupahami dan ku terka. Ini terasa berbeda tapi tak pantas aku duga. Matanya bertemu cukup lama dengan mataku. Diantara empat nama kami, namaku yang disebutnya. Bolehkah aku sedikit tersanjung ? Bolehkah ?

Aku ingin menduga sesuatu yang tak seharusnya, aku tentu ingin tahu apa yang dipikirkan dibalik sikapnya. Mencari-cari kenyataan yang disebut fakta, bukan hanya sekedar opiniku. Dalam lamunku aku merasa yakin bahwa sepenuhnya aku tak menjatuhkan hati, mungkin aku hanya merasa ini orang yang baik. Tak lebih dan tak kurang. Tapi siapa yang tahu risalah hati ? Kata "Tidak" bisa menjadi "Iya" bila waktunya tiba kan.

Aku benar-benar tak berpikir bila aku menyukainya, meski aku sering mencari-cari alasan untuk berkesempatan berbicara dengannya. Hanya untuk mengakrabkan diri itulah alasan yang kuanggap sebagai alasan. Dan kini mataku mulai sering mencari-cari sosok dirinya, bukan karena rindu atau apapun itu. Aku hanya merasa bila kami bertemu, kami akan saling bertegur sapa. Apa aku benar tentang ini ? Tegur sapa ? itu alasan tak sengaja atau memang ingin disengaja. Aaaah opiniku sering sekali bertengkar dengan fakta yang ada.

Sebenarnya aku tak berharap seperti aku sedang menyukainya, karena sungguh rasa suka itu sangat terbatas. Aku yakin belum sepenuhnya menyukainya. Aku hanya tertegun dengan sikapnya kemarin. Sungguh hanya itu. Sungguh.

Keluarga itu tongkatmu berjalan, dan selamanya juga akan begitu :')

Kemarin adalah hari haru yang bernuansa pilu, temanku terisak-isak meluapkan isi hatinya yang tertutup rapat. Suasana hening menemani kami untuk mendengarkannya. Caranya berbicara, lantunan sikap dan ego nya ini ternyata tidak sembarang terjadi. Kami tertegun saat telah mengetahuinya. Diam dan ikut berduka.

Kami menyadari bahwa kisah ini warna-warni, yang kami anggap warna itu sama ternyata berlipat kali berbeda. Aura kesedihan mendalam terpancar dari caranya bercerita, menunjukkan bahwa ia bukanlah gadis yang selalu berani. Temanku ini merasa sangat takut. Karena dia merasa dia sedang sendirian.

Temanku ini belajar menguatkan dirinya sendiri, tak bergantung dengan yang lain dan memikirkan dirinya sendiri. Tapi kami tidak sepertinya, yaaaah itu karena kami memiliki kisah warna yang berbeda. Lingkupan cerita yang berbeda. Keluarga.

Aku menggulingkan air mataku disela-sela pipiku, kemudian menghapusnya kembali agar terlihat lebih kuat. Disini temanku yang terluka, dia sedang sendirian. Tak pantas aku terlihat lemah. Dia terlihat lelah untuk menghadapi situasi pilu ini, tapi apa daya kami ? menguatkannya pun tak akan mengubah situasi itu. Karena itu kami ingin tetap ada disisinya, mendengarkannya dan menjadikan dia bagian dari diri kami. Bagaimana bila aku ada diposisinya ? Aku sangat mencintai keluargaku, dan cintaku ini tak berbanding terbalik dengan duka temanku.

Aku ikut terhanyut cerita tragisnya, membuatku terbayang bila Ibuku mengalaminya. Bila bapak dan adikku yang seperti kisahnya. Aku takut Ibuku lelah menjadi Ibu dan Bapakku lelah menjadi Bapak. Aku takut kehilangan momen berharga selama aku diciptakan. Aku sungguh takut YaAllah.

Lewat coretan ini aku tak sepenuhnya menggambarkan duka temanku, coretan ini tak sebanding dengan duka yang dirajutnya. Aku hanya ingin menegaskan kembali kepada setiap orang yang membaca ini. "Keluarga itu tongkatmu berjalan, Bila berhasil menjaganya, apapun lukamu dan sakitnya setiap lekuk tubuhmu, Kamu masih bisa berjalan." Dan juga coba tegaskan dalam hidupmu bahwa kamu sangat mencintai keluargamu.


Jumat, 07 Februari 2014

Anakmu yang rindu padamu Ibu :')

Anakmu ini sedang sangat merindukanmu Ibu, setiap belai katamu, peluk auramu sangat kuidamkan malam ini. Terisak menangisku pun tak bisa menggambarkan betapa pilu kerinduan ini. Aku sedang terpukul hari ini Ibu, ingin sekali aku ceritakan raungan pilu yang kuhadapi. Bisakah aku membawa Ibu kedalam pukulan masalahku hari ini ? Tenangkan aku Ibu, Hangatkan aku dengan setiap nada suaramu.

Tapi sungguh Ibu, ini pertama kalinya aku menangis sejak mulai ada disini. Ditempat baru yang mungkin akan berbeda suasana seperti yang lalu. Kini rasanya aku tersudut sendiri dikamar yang hanya dipenuhi kerinduan untukmu Ibuku. Sebenarnya ini bukan masalah yang pantas membuatku menangis, jadi jangan khawatirkan aku. Aku sungguh baik-baik saja disini, maafkan aku atas kegelisahan yang aku beri. Maafkan aku yang mungkin pernah membuatmu khawatir. Maafkan aku.

Jangan dengarkan sedih dan isak tangisku kali ini Ibu, jangan khawatirkan aku disini. Aku baik-baik saja dan aku bisa melewatinya. Jangan tanyakan aku apakah aku menangis dan betapa sulit masalahku. Suaramu sudah sangat melegakan kusutnya hatiku hari ini tapi tetap saja tanpa bertemu denganmu, tentu belum bisa mengobati rinduku ini Ibu. 

Merasakan kebahagiaan Ibu disana sudah membuatku tersenyum lega, suara tawa Ibu dan suasana rumah yang hangat bisa aku rasakan juga disini. Aku lega Ibu baik-baik saja, aku lega Ibu peka dan tahu kapan harus menghubungiku. Disaat seperti ini, Ibu membuktikan bahwa Ibu adalah Ibuku. Terima kasih sudah baik-baik saja disana dan terima kasih telah menjadi Ibuku sampai hari ini. Aku merindukanmu, sangat merindukan dan mencintaimu Ibu :')

Anakmu yang selalu ingin dipelukmu

Bisakah Terselip Diriku diMatamu ?

Aku terenyak kagum melihat sorot matamu, bukan sekedar pura-pura aku tertegun. Melihatmu sekali saja sudah membuat malamku terbayang pertemuan itu. Kau berjalan melewatiku dengan angkuhnya dan matamu tak memandang arah yang lain selain kearah kemana kau berjalan. Kau bukan alasan untuk buatku penasaran tapi sungguh bukan maksut apa-apa. Aku hanya ingin menjadi bagian apa yang kau lihat saat itu. Menjadi sorotan sesuatu yang bisa kau lihat sebelum kita tidak bisa bertemu lagi. Sesederhana itu bukan ?

Mungkinkah di detik lain, kau bisa lakukan itu ? Melihatku sebagai sesama pejalan kaki yang mungkin memang tidak perlu kau kenali, tetapi cukup kau lihat dan kau tahu. Pernah ada diriku - bukan sekedar aku tapi ada sosok diriku dibola matamu. Selintas terlihat tak wajib kau ingat. Hanya bisakah terselip diriku dimatamu ?

Kamis, 06 Februari 2014

Hanya Niat yang Selalu Jadi Niat Saja

Aku terlelap dari lamun khayalku. Menyadarkanku bahwa telah ada manipulasi rasa dari dirinya. Entah itu apa, aku sungguh tak mengerti. Hanya bagaimana aku mengalaminya, aku simpan diluapan memoriku. Mungkin aku sedang terhipnotis kebodohan yang meraja lela. Aku tak sadar akan setiap hal yang kulakukan. Uring-uringan memikirkannya kini sudah menjadi kewajiban setiap waktu luangku. Bukan, bukan hanya waktu luang saja. Saat sedang sibuk pun aku tetap memikirkannya. Satu hal yang ingin aku lakukan, yaitu mengajaknya duduk berdua berbicara, tapi tak pernah sekalipun aku lakukan. Aku terlalu pengecut bukan ?

Baginya mungkin aku hanya seseorang yang lewat dihidupnya, menjadi bagian dari kehidupannya itu mungkin akan mustahil. Aku yang menyadari ini menjadi semakin sangat bodoh. Semakin ingin kubuang bayangannya dari lamunanku, Tapi malah semakin membuatku tak berhenti melamunkannya. Aku gelisah dan lelah bila terus begini, tapi yaaah sangat sederhana dan sangat biasa. Inilah "Jatuh Cinta".
   
Bukan menjadi keheranan yang berarti bila merasakan ini, sudah sepantasnya aku dan siapapun itu menjatuhkan hati. Hanya saja gelisah tak karuan ini terus menyerangku. Mengajaknya bicara dan memasuki hidupnya adalah hal yang ingin kulakukan. Aku sudah mengutuk diriku untuk melakukan itu dan aku sudah berniat sungguh-sungguh untuk melakukannya. Tapi apalah arti sebuah kata "Niat", Hanya niat yang selalu jadi niat saja.

Rabu, 05 Februari 2014

Aku yang sedang berpura-pura :')

Ini mungkin jalan sederhana yang kubuat rumit menyulitkan. Dimana kita tidak sedang sungguh-sungguh berjalan. Karena kita tahu kita sedang mengharapkan sesuatu yang mungkin menciptakan luka. Bagimu mungkin tak apa bila mencoba, tapi aku ? Aku takut kita menyesal. Dan yang kusesali datang perlahan. Kita bukan kita lagi. Aku bukan bagian dari dirimu yang kau perjuangkan lagi. Bukan lagi teman yang saling menertawakan duka bersama. Bagimu "kita" adalah kesalahan yang tak perlu dibicarakan lagi. Dan hal  itu membuatku terus berpura-pura. "Aku tidak apa".

Aku berpura-pura tidak mengenalmu sebagai kamu, kamu adalah bagian terasing dilintasan hidupku. Aku berpura-pura kita tidak sedang menyesal mencoba, yang sedari dulu ku peringatkan selalu untuk "Jangan kita lakukan". Aku berpura-pura menahan tawa yang seharusnya aku lakukan untuk marah. Aku marah dengan keadaan ini !
     
Yang harusnya kita lakukan adalah duduk berdua lagi. Tapi tidak membahas cerita kita, cukup saling bertukar sapa. Karena bagiku dirimu bukanlah sebuah cerita lalu lalang, Kau adalah teman yang seharusnya kembali pulang. Aku tak pernah berpikir mendaur ulang "kita" yang dulu, sekalipun tidak terpikir. Aku tidak lagi melihatmu sebagai seseorang yang wajib kupikirkan tapi sungguh sesak rasanya didalam kepura-puraan ini. Kau takut melukaiku dengan sebuah kesalahan milikmu, sebenarnya apa kau benar-benar bodoh ?
       
Apa dengan kepura-puraanku ini, kita tidak akan apa-apa ? Tahu kah kau, Aku yang sedang berpura-pura ini sangat lelah. Aku mencoba berpura-pura membencimu agar kau lega mengingat kesalahan itu. Kau terlalu lega sampai tidak tahu bahwa aku sungguh gelisah. Mungkin benar awalnya aku sangat marah, tapi untuk apa kemarahan itu ? Kau menyesal dan menghakimi sendiri dirimu, apa menurutmu aku akan baik-baik saja ?
       
Bila kau sudah lelah melihatku berpura-pura, cepat katakan padaku. Tidak perlu memohon maaf lagi, cukup kembalilah sebagai teman. Kau tahu kan bagaimana "Aku yang sedang berpura-pura."